*“sakderenge wonten
motor cino, kula dereng nate gembrobyos ngeten niki, Mas” .
“Nggih nopo, Pak? Lha
pripun toh?” .
“Niki banipun
campuranipun kekathahen. Dadose mboten lentur, karete pelit”
“oh, ngaten, pak?”
“Nggih, Mas. Lha kula
sampun dolanan ngeten niki awit 74 tahun kepungkur dadose apal”*
Sejenak percakapan itu
membimbing mataku untuk melihat-lihat lebih dekat apa yang terjadi
pada tempat itu sejak 74 tahun yang lalu. Sembari mencurahkan isi
hatinya, bapak itu melanjutkan pekerjaannya yang selama 74 tahun ini
telah menghidupinya.
Melihat sekeliling,
mencari sesuatu yang dapat membukukan sebuah kesimpulan untukku, dan
akhirnya kutemukan. Kemungkinan besar tempat ini tak banyak berubah
semenjak 74 tahun yang lalu, bersama dengan kehidupan sang Bapak yang
kemungkinan besar juga tak berubah sejak dulu.
Ketika aku datang, aku
melihatnya sendiri, hanya ditemani gending-gending jawa yang
sayup-sayup keluar dari sebuah radio tua, dan disampingnya berjejer
baterai yang dijemur dengan maksud agar baterai-baterai itu ‘hidup’
kembali. Namun, kesendirian itu tak terlihat dari raut wajah sang
Bapak yang menganggap bahwa ia sudah ditemani. Ditemani sebuah radio
tua, dan seperangkat alat yang telah renta.
Sambil menunggu, aku
masih bersama “Perahu Kertas”-nya dee, di tanganku. Buku yang
telah berulang kali kubaca namun tak pernah aku tak suka. Sambil
membaca beberapa kisah tentang Kugy dan Keenan disana, pikiranku
meluncur kemana-mana. Masih dengan pertanyaan dan sebuah keinginan
bahwa aku harus pulang dengan mengambil sesuatu dari tempat ini,
sesuatu tentang nilai-nilai kehidupan lagi-lagi.
Sejenak berpikir sambil
memandangi api yang sedari tadi ia hidupkan untuk membuat karetnya
lekat dan angin tak bisa keluar dari lubang sesempit lidi, akibat
paku yang menancap tadi pagi.
Bapak ini istimewa, ia
hidup dengan apa yang telah menjadi pilihannya dan tak pernah putus
asa. Pilihan hidupnya sangat sederhana. Yang penting ia bisa mengisi
perutnya setiap hari. Lalu menikmati hari demi hari dengan melakukan
hal yang sama, menunggu pelanggan yang ban motornya naas seperti
saya. Menunggu dengan ditemani radio tua dan seperangkat alat yang
telah renta. Dan ia sebut mereka teman-temannya.
Sejenak tubuhku ikut
merenungi apa yang nyata didepan mata. “Ini tentang jalan hidup
yang kita pilih. Tentang apa yang hati inginkan dan hati tujukan.
Bapak itu memilih jalan sederhana, namun hidupnya bahagia. Tak pernah
merasa kekurangan karena ia selalu bersyukur. Aku terlalu manja untuk
bisa mengerti hal-hal seperti itu. Namun kini disadarkan dengan jelas
didepan mata”
Jogja, 1 Februari 2012.
Sakti A.N
*”Sebelum ada motor
china, saya belum pernah berkeringat seperti ini mas”
“Iya, Pak? Memangnya
kenapa?”
“Ini bannya terlalu
banyak campuran. Jadinya nggak lentur, karetnya pelit”
“Oh, gitu Pak?”
“Iya, Mas, saya sudah
bermain seperti ini sejak 74 tahun yang lalu jadi hafal”*