Pages

Saturday, February 18, 2012

Kepada Bapak Tua yang Teman-Temannya telah Renta


*“sakderenge wonten motor cino, kula dereng nate gembrobyos ngeten niki, Mas” .
“Nggih nopo, Pak? Lha pripun toh?” .
“Niki banipun campuranipun kekathahen. Dadose mboten lentur, karete pelit”
“oh, ngaten, pak?”
“Nggih, Mas. Lha kula sampun dolanan ngeten niki awit 74 tahun kepungkur dadose apal”*

Sejenak percakapan itu membimbing mataku untuk melihat-lihat lebih dekat apa yang terjadi pada tempat itu sejak 74 tahun yang lalu. Sembari mencurahkan isi hatinya, bapak itu melanjutkan pekerjaannya yang selama 74 tahun ini telah menghidupinya.
Melihat sekeliling, mencari sesuatu yang dapat membukukan sebuah kesimpulan untukku, dan akhirnya kutemukan. Kemungkinan besar tempat ini tak banyak berubah semenjak 74 tahun yang lalu, bersama dengan kehidupan sang Bapak yang kemungkinan besar juga tak berubah sejak dulu.
Ketika aku datang, aku melihatnya sendiri, hanya ditemani gending-gending jawa yang sayup-sayup keluar dari sebuah radio tua, dan disampingnya berjejer baterai yang dijemur dengan maksud agar baterai-baterai itu ‘hidup’ kembali. Namun, kesendirian itu tak terlihat dari raut wajah sang Bapak yang menganggap bahwa ia sudah ditemani. Ditemani sebuah radio tua, dan seperangkat alat yang telah renta.
Sambil menunggu, aku masih bersama “Perahu Kertas”-nya dee, di tanganku. Buku yang telah berulang kali kubaca namun tak pernah aku tak suka. Sambil membaca beberapa kisah tentang Kugy dan Keenan disana, pikiranku meluncur kemana-mana. Masih dengan pertanyaan dan sebuah keinginan bahwa aku harus pulang dengan mengambil sesuatu dari tempat ini, sesuatu tentang nilai-nilai kehidupan lagi-lagi.
Sejenak berpikir sambil memandangi api yang sedari tadi ia hidupkan untuk membuat karetnya lekat dan angin tak bisa keluar dari lubang sesempit lidi, akibat paku yang menancap tadi pagi.
Bapak ini istimewa, ia hidup dengan apa yang telah menjadi pilihannya dan tak pernah putus asa. Pilihan hidupnya sangat sederhana. Yang penting ia bisa mengisi perutnya setiap hari. Lalu menikmati hari demi hari dengan melakukan hal yang sama, menunggu pelanggan yang ban motornya naas seperti saya. Menunggu dengan ditemani radio tua dan seperangkat alat yang telah renta. Dan ia sebut mereka teman-temannya.
Sejenak tubuhku ikut merenungi apa yang nyata didepan mata. “Ini tentang jalan hidup yang kita pilih. Tentang apa yang hati inginkan dan hati tujukan. Bapak itu memilih jalan sederhana, namun hidupnya bahagia. Tak pernah merasa kekurangan karena ia selalu bersyukur. Aku terlalu manja untuk bisa mengerti hal-hal seperti itu. Namun kini disadarkan dengan jelas didepan mata”
Jogja, 1 Februari 2012. Sakti A.N
*”Sebelum ada motor china, saya belum pernah berkeringat seperti ini mas”
“Iya, Pak? Memangnya kenapa?”
“Ini bannya terlalu banyak campuran. Jadinya nggak lentur, karetnya pelit”
“Oh, gitu Pak?”
“Iya, Mas, saya sudah bermain seperti ini sejak 74 tahun yang lalu jadi hafal”*

No comments:

Post a Comment